Taman Perubahan Sosial
Hari ini, tepat satu hari setelah perayaan 45 tahun Proklamasi Kemerdekaan yang jatuh pada tanggal 28 November 2020, yang dirayakan di kotamadya Likisa.
Kejadian bencana alam yang menghambat upacara penutupan perayaan hari Proklamasi Kemerdekaan Timor-Leste di Likisa yang menjadi topik panas di Media Sosial dan Media masa lainnya menjadi alasan utama cerita hari ini dituliskan oleh saya.
Dengan membaca banyak berita terkait bencana pasca Perayaan hari Proklamasi Kemrdekaan Timor-Leste yang ke 45 yang penuh dengan perspektif mistis dari kalangan Politisi, Aktivis, Jornalis hingga Mahasiswa dan masyarakat biasa, aku mencoba mencari suasana baru untuk berdiskusi, entah dengan siapa, kepada siapa dan dimana masih belum jelas. Di depan kamar dengan sebuah telepon genggam, mengulir layar sambil mendengar musik, ada telepon masuk, dengan nomor baru, saat diangkat, ternyata dari salah satu teman akrab yang selama ini sudah dianggap sebagai saudara. Dia bertanya, perjalanan ke Manatutu itu jadi atau tidak. Komunikasi berlanjut hingga masuklah reuni mahasiswa dan pelajar. Dia akhirnya menawarkan aku untuk ikut ke reuni. Datanglah aku ke rumah kosnya dan kita jalan dengan sepeda motor ke tempat reuni.
Singkat cerita...Tibalah di tengah kota Dili, di pintu masuk sebuah taman, yakni taman “Jardim 5 de Maio”, ia berkata, stop disini, disinilah tempat reuni mahasiswa. Masuklah kita di taman itu, dari semua sudut dan tempat duduk di taman itu penuh dengan berbagai kelompok muda-mudi, tak salah lagi, mereka adalah pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah di Timor-Leste. Kelompok ini dibagi hampir 10 kelompok lebih dan yang menjadi tujuan Kita itu adalah menuju ke salah satu kelompok yang tepat di sudut ujung taman itu. Reuni pun dimulai, karena ini adalah reuni antar pelajar dan mahasiswa dari Kampung Muapitine, Kotamadya Lautem, maka aku tidak harus ikut dalam reuni itu, aku hanya duduk sendiri di belakang mereka. Disitu aku melihat ana-anak sedang bermain, Pelajar dan mahasiswa sedang reuni yang begitu serius, terorganisir dan sistematis, ada juga yang sedang berpacaran. Taman itu sangat ramai, di jalan umum terdengar suara mobil dan motor yang sangat berisik, di pelabuhan dekat taman itu, mesin kapal di pelabuhan sangat berisik, tiupan angin begitu lembut melalui pohon-pohon di taman itu, hari pun menjelan soreh.
Dari semua kelompok muda-mudi itu, hanya ada dua kelompok yang tak asing di mata saya, yakni Para pelajar dan mahasiswa dari Com dan Muapitine, karena mereka semua dari daerahKu, kotamadia Lautem-Lospalos. Dari diskusi mereka, sedikitnya aku mendegar apa yang sedang mereka diskusikan. Dan hampir semua kelompok itu membicarakan hal yang sama, yaitu rencana program kemahasiswaan pasca Perayaan hari natal dan tahun baru di kampung halam masing-masing. Dari hatiku berkata, sebenarnya liburan natal dan tahun baru adalah hari dimana semua orang mudik ke kampung halaman masing-masing untuk bersama-sama dengan keluarga, akan tetapi para mahasiswa dan pelajar ini menjadikannya untuk program kemahasiswaan. Apakah ini adalah salah satu bentuk kesadaran, bahwa sebagai aset kontrol sosial dan perubahan sosial haruslah melakukan pergerakan ke dalam komunitas masyarakat? Otonomi kampus yang tidak di implementasikan di setiap kampus di Timor-Leste menjadi menyebab utama yang mematahkan perang mahasiswa sebagai aset kontrol sosial dan perubahan sosial, dan akhirnya mahasiswa hanya menjadi anak didik yang pintar di dalam lingkungan kampus dan tidak cerdas menjalankan perangnya!!!!
Sungguh tolol dan bodoh, sistem kurikulum pendidikan kemahasiswaan di Timor-Leste.
Hari libur bulan Desember yang hanya memakan waktu seminggu menjadi alternatif untuk Pelajar dan mahasiswa agar menjalankan perangnya sebagai aset kontrol sosial dan perubahan sosial dalam komunitas masyarakat!!! Ini tidak adil seharusnya, namun sisi positifnya adalah, para pelajar dan mahasiswa masih sadar akan perangnya dalam masyarakat. Ini adalah bentuk kesadaran, revolusi mental sudah terbentuk. Harapan untuk perubahan sosial telah dimulai, harapan menuju perjuangan pembebasan rakyat yang sebagai lanjutan dari prinsip perjuangan pembebasan negara telah dimulai. Mahasiswa harus kembali kepada masyarakat dengan cara apapun untuk menjadi kaki tangan rakyat dalam segala masalah sosial. Salah satunya dengan menggunakan hari libur sebagai peluang perjuangan mahasiswa untuk masyarakat.
Singkat cerita, waktu berjalan menuju malam, tertuju lah aku ke sebuah kafetaria di tengah daerah perkantoran LSM di Timor-Leste, situasi sangatlah berbeda dengan yang tadi di taman itu, banyak pelajar dan mahasiswa dengan kondisi ekonomis yang berbeda juga berkelompok di kafetaria itu, menkmati kopi sambil berdiskusi. Kali ini, topik diskusi berbeda dengan di taman tadi, mereka sedang membicarakan bagaiman cepat lulus dan kerja. Adakalanya mereka membicarakan fashion baru, sepeda motor keluaran terbaru hingga mobil dan lain-lain. Di sisi lain, para aktivis LSM beserta sejumlah Jornalist bercerita sambil tertawa dengan bencana yang terjadi pasca perayaan 45 tahun proklamasi kemerdekaan Timor-Leste dengan perspektif mistis dan menghubungkannya dengan situasi politik Timor-Leste. Ada juga yang membicarakan gaji 13 mereka, dan bagaimana planing project di tahun 2021. Situasi ini membawa kita kepada kesadaran kelas, bahwa dimana barisan kelas tertindas sedang membicarakan masalah bangsa dan negara secara kritis, kalangan aktivis duduk santai dan membicarakan gaji, project dll..kalangan elit memikirkan bagaimana bisa mendapatkan sesuatu dia hari esok.
Cerita pun usai dengan menamai Taman “Jardim 5 de Maio sebagai taman perubahan sosial, karena harapan perubahan telah dimulai di taman itu... jika hari esok perubahan rakyat benar-benar terjadi maka taman itulah saksinya....
Bebonuk; 29-11-2020 “19:00”
Credit: Laiha Naran
0 komentar :
Post a Comment
Komentariu lao ho Etika